Tanjung Selor-BNI.co.id

Angka itu tertera jelas dalam laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara. Bukan angka proyek dan Bukan pula nilai aset. Senin 29 Desember 2025.

Angka itu adalah Rp.605.711.996.461,21, dicatat sebagai “Dana yang Telah Ditentukan Penggunaannya”, tetapi tidak diketahui rincian penggunaannya.

BPK menuliskannya secara lugas:
“Dana yang telah ditentukan penggunaannya senilai Rp605.711.996.461,21 tidak diketahui rincian penggunaannya.”

Kalimat singkat itu menyimpan implikasi besar. Dalam tata kelola keuangan negara, dana dengan label “telah ditentukan penggunaannya” justru merupakan dana yang paling ketat pengawasannya.

Setiap rupiah seharusnya memiliki jejak: dari mana asalnya, untuk apa disiapkan, siapa penanggung jawabnya, dan bagaimana status realisasinya.
Namun dalam kasus Kalimantan Utara, jejak itu hilang dari laporan.

Dana Ada, Rinciannya Tidak
BPK tidak menyebut dana ini fiktif. Dana tersebut diakui ada dalam kas daerah.

Tetapi audit menemukan bahwa tidak tersedia rincian penggunaan yang memadai, sehingga saldo kas daerah tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya.

Ini bukan persoalan administratif biasa. Dalam standar akuntansi pemerintahan, saldo kas merupakan indikator paling dasar untuk membaca kesehatan fiska.

Ketika saldo kas tidak dapat diyakini, maka seluruh laporan keuangan berada dalam posisi rapuh.
Pertanyaannya sederhana, tetapi krusial:

Jika dana Rp 605 miliar tidak dirinci, bagaimana publik dapat memastikan dana itu tidak digunakan di luar peruntukan?
Bagaimana pengawasan dilakukan jika tidak ada pemetaan penggunaan?

Alarm di Wilayah Berisiko Tinggi
Dalam dunia audit, ketidakjelasan dana dalam jumlah ratusan miliar rupiah dikategorikan sebagai high risk area, wilayah risiko tertinggi. Bukan karena terbukti ada penyimpangan, tetapi karena peluang penyimpangan terbuka lebar.

Dana yang tidak dirinci:

1 Sulit diawasi lintas OPD
2 Tidak mudah ditelusuri dalam rekonsiliasi
3 Rentan digunakan tanpa pertanggungjawaban memadai
BPK memang tidak menyimpulkan adanya tindak pidana.

Namun temuan ini secara profesional menunjukkan kelemahan pengendalian internal yang bersifat sistemik, bukan insidental.

“Jika dana sebesar itu bisa “menggantung” tanpa rincian, maka sistem pengawasan kas daerah gagal berfungsi sebagai pagar awal”.

Masalah Sistem, Bukan Satu Meja
Temuan ini tidak berdiri sendiri. BPK menekankan bahwa ketidakjelasan dana tersebut berdampak langsung pada ketidakakuratan saldo kas daerah.

Artinya, persoalan ini tidak hanya berada pada satu OPD atau satu unit kerja, melainkan menyentuh mekanisme pengelolaan kas secara keseluruhan.

Dalam konteks pemerintahan daerah, kegagalan sistemik seperti ini berbahaya.

Sebab ketika pengawasan melemah di hulu, berbagai persoalan di hilir—salah anggaran, belanja tidak tertib, hingga proyek bermasalah—menjadi lebih mudah terjadi.

Uang Publik Menuntut Kejelasan
Dana Rp 605 miliar bukan angka abstrak. Itu adalah uang publik. Uang yang bersumber dari pajak, transfer pusat, dan hak fiskal masyarakat Kalimantan Utara.

Ketika uang publik tidak dapat dirinci penggunaannya, maka yang dipertaruhkan bukan hanya laporan keuangan, tetapi kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
BPK telah menyalakan lampu peringatan.

Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah temuan ini serius melainkan bagaimana Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara menjelaskannya secara terbuka dan rinci kepada publik.

Laporan ini disusun berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPD Provinsi Kalimantan Utara. Seluruh analisis bersifat jurnalistik, bukan tuduhan pidana. Membuka ruang hak jawab bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan instansi terkait.

Bagikan :