Tenggarong-BNI.co.id
Setelah anggaran ratusan miliar rupiah digelontorkan untuk penataan dan rehabilitasi kawasan permukiman, tantangan paling krusial justru muncul di tahap akhir: memastikan kualitas output benar-benar sesuai dengan perencanaan. Senin 29 Desember 2025.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas APBD Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2022, menempatkan kualitas hasil pekerjaan sebagai salah satu risiko dominan dalam pengelolaan program Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (PERKIM).
Output Fisik, Bukan Sekadar Serapan.
Program PERKIM mencakup pembangunan dan peningkatan berbagai infrastruktur dasar permukiman—mulai dari jalan lingkungan, drainase, hingga fasilitas penunjang kawasan hunian.
Dengan nilai anggaran gabungan penataan dan rehabilitasi yang mencapai Rp350–500 miliar, ukuran keberhasilan program semestinya tidak berhenti pada tingkat serapan anggaran, melainkan pada kualitas fisik hasil pekerjaan.
Pengamat hukum tata negara Kalimantan Timur, Assoc. Prof. Dr. Jaidun, S.H., M.H., menilai bahwa pada proyek permukiman yang tersebar di banyak lokasi, kualitas kerap menjadi tantangan utama.
Perbedaan kondisi lapangan dan intensitas pengawasan yang tidak merata membuat risiko penurunan mutu sulit dihindari.
“Serapan tinggi tidak otomatis mencerminkan kualitas.
Uji sesungguhnya ada di lapangan—apakah jalan bertahan, drainase berfungsi, dan fasilitas benar-benar dimanfaatkan warga,” ujarnya.
Uji Lapangan Jadi Penentu
BPK menegaskan pentingnya pengendalian mutu (quality control) pada setiap tahapan pekerjaan. Risiko kualitas output muncul ketika spesifikasi teknis tidak sepenuhnya dipenuhi, pengawasan lapangan tidak konsisten, atau dokumentasi hasil pekerjaan tidak lengkap.
Dalam konteks proyek multi-lokasi, uji lapangan menjadi penentu utama untuk memastikan kesesuaian antara perencanaan di atas kertas dengan kondisi aktual di lokasi pembangunan.
Tanpa pengujian yang memadai, kualitas pekerjaan berisiko hanya “baik di laporan”, tetapi rapuh di lapangan.
Implikasi Jangka Panjang
Kualitas output yang tidak optimal berpotensi menimbulkan biaya lanjutan bagi daerah—mulai dari perbaikan dini, kebutuhan pemeliharaan yang lebih mahal, hingga penurunan usia layanan infrastruktur.
Meski tidak selalu berdampak langsung pada kerugian keuangan negara, kondisi ini secara nyata mengurangi efektivitas belanja publik.
“Jika kualitas rendah, aset cepat rusak. Dampaknya bukan pidana, tetapi pemborosan secara fungsional,” kata seorang pengamat tata kelola keuangan daerah.
Pertanyaan tentang Pengawasan
Saat dikonfirmasi redaksi terkait sejumlah paket kegiatan anggaran, Hery Setyawan, S.T., M.M., selaku Kepala Bidang di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (PERKIM) Kutai Kartanegara, menyatakan tidak mengetahui secara rinci proyek yang dimaksud.
“Saya tidak tahu proyek itu,” ujarnya melalui pesan singkat WhatsApp.
Pernyataan tersebut menambah tanda tanya publik mengenai alur pengawasan internal, terutama pada program dengan nilai anggaran besar dan sebaran lokasi yang luas.
Akuntabilitas di Mata Publik
Dengan anggaran publik yang besar, kualitas output menjadi tolok ukur utama akuntabilitas pembangunan permukiman.
Publik tidak menilai proyek dari laporan administrasi semata, melainkan dari kondisi nyata di lapangan: apakah infrastruktur berfungsi, tahan lama, dan benar-benar meningkatkan kualitas hidup warga.
Sebagai penutup, seri PERKIM ini menegaskan satu hal penting: anggaran besar harus dibuktikan dengan kualitas nyata. Di situlah kepercayaan publik terhadap tata kelola pembangunan diuji—bukan di atas kertas, melainkan di lapangan.




