Luwu utara-BNI.co.id
Dalam setiap pembangunan desa, integritas pejabat desa menjadi kunci utama. Dana Desa dan Alokasi Dana Desa adalah uang negara yang dikelola untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk memperkaya individu atau kelompok tertentu.
Karena itu, hukum Indonesia memberi batasan jelas agar kepala desa dan perangkat desa tidak terlibat sebagai pemborong atau penyedia proyek yang mereka kelola sendiri.
Larangan Hukum bagi Kepala Desa
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan dalam Pasal 29 huruf e dan f bahwa kepala desa dilarang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, serta dilarang menjadi pelaksana proyek desa.
Prinsip ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 11 Tahun 2019, yang menegaskan bahwa kepala desa dapat diberhentikan apabila melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara atau desa.
Larangan serupa terdapat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Pengelolaan keuangan desa harus dilaksanakan secara transparan, akuntabel, partisipatif, dan tidak menimbulkan konflik kepentingan.
Artinya, pejabat desa tidak boleh ikut serta dalam kegiatan yang berpotensi memberi keuntungan bagi dirinya sendiri atau keluarganya.
Ketentuan tentang Pengadaan Barang dan Jasa Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 12 Tahun 2019 mempertegas bahwa pejabat desa, perangkat desa, maupun anggota Badan Permusyawaratan Desa dilarang menjadi penyedia barang dan jasa di desa.
Peraturan ini dibuat untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan pengelolaan anggaran dilakukan secara profesional.
Dana Desa Dibikin Jalan-Jalan, Akhirnya Camat Peusangan Dipenjara 2 Tahun 10 Bulan Korupsi Bimtek Bendahara, Sekdes dan Perangkat Mundur Mendadak, Pengamat Ada Dugaan Korupsi Dana Desa Paiman Raharjo Kades Korupsi Dana Desa Langsung Diproses Hukum KPK Konflik kepentingan juga mencakup hubungan keluarga.
Penyedia yang memiliki hubungan sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan pejabat yang mengelola kegiatan desa tidak boleh ikut serta dalam proyek.
Dengan demikian, istri, anak, orang tua, saudara kandung, maupun mertua dari kepala desa atau perangkat desa tidak boleh menjadi pemborong proyek desa.
Penyalahgunaan Wewenang dan Nepotisme Penyalahgunaan jabatan di tingkat desa sering kali muncul dalam bentuk nepotisme, yakni pemberian kesempatan atau keuntungan kepada keluarga dan kerabat tanpa mekanisme yang transparan.
Ketika kepala desa menunjuk keluarganya untuk mengerjakan proyek jalan, atau sekretaris desa memanfaatkan jabatannya agar CV milik istrinya menang tender, maka praktik tersebut sudah masuk kategori penyalahgunaan wewenang.
Prinsip etika pemerintahan desa menuntut pejabatnya bekerja demi kepentingan publik. Ketika kepercayaan publik rusak, pembangunan tidak lagi berorientasi pada kebutuhan masyarakat, tetapi pada keuntungan pribadi dan kelompok.
Sanksi Administratif
Bagi kepala desa atau perangkat desa yang terbukti melanggar ketentuan ini, sanksi administratif dapat diberikan oleh bupati atau wali kota melalui camat.
Bentuknya dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap dari jabatan. Sanksi administratif ini adalah langkah awal sebelum penegak hukum turun tangan apabila ditemukan unsur pidana.
Sanksi Pidana Berdasarkan Undang-Undang Tipikor Jika penyalahgunaan tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara, maka perbuatan itu masuk ke dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 2 ayat (1) mengatur bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun serta denda antara dua ratus juta sampai satu miliar rupiah.
Pasal 3 menjerat pejabat yang menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sarana karena jabatan dengan pidana penjara seumur hidup atau antara satu sampai dua puluh tahun dan denda antara lima puluh juta sampai satu miliar rupiah.
Pasal 12 huruf i memberi ancaman serupa bagi pejabat yang menggunakan kekuasaan untuk memengaruhi atau memaksa hasil proyek bagi keuntungan pribadi.
Selain hukuman penjara dan denda, Pasal 18 undang-undang yang sama mengatur bahwa pelaku wajib mengembalikan kerugian negara.
Jika tidak mampu membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita atau diganti dengan pidana penjara tambahan. Dampak Sosial bagi Masyarakat Desa Korupsi di tingkat desa menimbulkan luka sosial yang dalam.
Warga kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahannya sendiri. Pembangunan menjadi tidak efektif karena kualitas proyek menurun dan partisipasi masyarakat melemah.
Banyak warga akhirnya bersikap apatis terhadap kegiatan desa karena merasa hasil pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Integritas kepala desa sejatinya menentukan wajah pemerintahan desa.
Kepala desa yang jujur dan terbuka akan mengundang kepercayaan masyarakat, sedangkan kepala desa yang tamak akan merusak sendi-sendi sosial desa itu sendiri.
Peran Pengawasan Masyarakat dan Aparat Pengawasan atas jalannya proyek desa tidak hanya menjadi tugas pemerintah daerah, tetapi juga tanggung jawab masyarakat.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki kewenangan untuk menilai dan meminta laporan pertanggungjawaban kepala desa.
Warga juga berhak mengetahui nilai proyek, waktu pelaksanaan, dan siapa pelaksananya melalui papan informasi yang wajib dipasang di lokasi kegiatan.
Apabila ditemukan indikasi penyimpangan, laporan dapat disampaikan kepada Inspektorat Kabupaten atau Kejaksaan Negeri. Laporan yang lengkap dengan bukti administrasi akan mempercepat proses pemeriksaan.
Prinsip Tata Kelola yang Bersih
Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, desa perlu menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Empat prinsip dasarnya adalah transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan.
Dana desa harus dikelola secara terbuka dan dapat diaudit kapan saja. Setiap keputusan pengeluaran anggaran wajib memiliki dasar hukum dan dokumen yang sah.
Kepala desa hendaknya memahami bahwa dana desa bukan milik pribadi, melainkan amanah rakyat yang harus dipertanggungjawabkan.
Pembangunan yang berhasil bukan hanya terlihat dari bangunan fisik, tetapi juga dari meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahannya.
Undang-undang dan peraturan yang mengatur desa sesungguhnya sudah lengkap: UU Nomor 6 Tahun 2014, PP Nomor 43 Tahun 2014 jo. PP Nomor 11 Tahun 2019, Permendagri Nomor 20 Tahun 2018, dan Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2019, hingga UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001.
Semua memberikan pesan moral yang sama: kekuasaan di desa harus dijalankan dengan tanggung jawab, bukan keserakahan.
Kepala desa yang menjadikan proyek desa sebagai sumber keuntungan pribadi pada akhirnya berhadapan dengan dua hukuman: pidana dari negara dan sanksi moral dari masyarakatnya sendiri.
Pembangunan desa akan benar-benar maju bila pejabatnya memegang amanah rakyat dengan jujur dan tulus.